Diana Cristiana Dacosta Ati: Lentera Pendidikan yang Menembus Batas Papua

Fajar baru menyapa di langit Mappi, Papua Selatan. Kabut tipis masih bergelayut di atas sungai ketika langkah seorang perempuan muda menembus jalan setapak berlumpur, membawa papan tulis kecil di tangannya. Di ujung jalan itu, suara tawa anak-anak telah menunggu — suara yang menjadi alasan mengapa ia tetap bertahan.
Dialah Diana Cristiana Da Costa Ati, sosok guru dari timur yang menyalakan cahaya di tengah gelapnya keterbatasan.
Bagi banyak orang, Papua mungkin hanya sebatas bentangan alam yang jauh dan indah. Namun bagi Diana, tanah ini adalah panggilan hati — tempat ia menemukan makna sejati dari pengabdian dan pendidikan. Ia percaya, setiap anak di pelosok Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk belajar dan bermimpi.

Potret Diana Cristiana Da Costa Ati saat menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023
(Sumber: Cantika – “Kisah Diana Cristiana Da Costa Ati, Guru Penggerak Daerah Terpencil di Papua Selatan”)
Pada tahun 2023, dedikasi itu mengantarkan Diana meraih 14th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards di bidang Pendidikan dari PT Astra International Tbk.
Penghargaan ini bukan sekadar apresiasi, melainkan pengakuan atas perjuangan yang lahir dari ketulusan. Melalui dukungan CSR Astra, Diana dapat memperbaiki ruang belajar sederhana, menghadirkan buku-buku bacaan, dan memperluas akses pendidikan di pelosok Papua Selatan.
“Bantuan ini membuka mata banyak orang bahwa anak-anak pedalaman bisa maju. Mereka hanya belum diberi kesempatan,” ujarnya lirih.
Kini, Diana bukan hanya guru bagi murid-muridnya — ia adalah simbol keteguhan. Bukti bahwa satu langkah tulus mampu menyalakan perubahan besar dari sudut negeri yang paling sunyi.
Langkah di Tanah yang Belum Terjamah Ilmu
Tahun 2018 menjadi awal perjalanan Diana menuju Kampung Atti, Kabupaten Mappi — wilayah terpencil yang dikelilingi hutan lebat dan sungai berarus deras. Ia datang bukan dengan banyak bekal, melainkan dengan satu keyakinan sederhana: bahwa ilmu mampu menembus batas apa pun.
Masih ada lebih dari 4,6 juta anak Indonesia yang putus sekolah, dan sebagian besar berada di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Fakta itu menyalakan tekad Diana untuk hadir di tengah mereka.
Perjalanan menuju tempat tugasnya bukan perkara mudah. Ia harus menyeberangi sungai deras dengan perahu kecil, menapaki jalan berlumpur berjam-jam, dan hidup tanpa listrik maupun sinyal. Namun tantangan sejati justru menanti di ruang kelas.
Anak-anak yang ia temui duduk di bangku kelas enam, tetapi sebagian besar belum bisa membaca atau menulis. Banyak pula yang belum mengenal bendera merah putih atau lambang Garuda.

Potret Diana Cristiana Dacosta Ati saat mengajar anak didiknya di Papua
Sumber gambar: olret.viva.co.id
“Waktu pertama kali mengajar, saya menangis,” kenangnya lirih. “Saya sadar, perjuangan saya bukan sekadar memberi pelajaran, tapi menyalakan harapan.”
Alih-alih menyerah, Diana memilih bertahan. Ia memulai dari hal-hal kecil — menulis huruf di pasir, menghitung dengan biji-bijian, bernyanyi untuk belajar membaca, dan menjadikan alam sebagai ruang belajar terbuka. Sedikit demi sedikit, perubahan mulai tampak.
Mata anak-anaknya berbinar, bibir kecil mereka mulai mengeja huruf demi huruf.
“Bu, saya bisa baca,” ucap seorang murid dengan senyum bangga.
Kalimat sederhana itu menjadi bahan bakar yang menjaga semangat Diana tetap menyala.
Jejak Tulus yang Menggerakkan Perubahan
Lebih dari sekadar guru, Diana adalah sosok ibu, kakak, dan sahabat bagi anak-anak di Mappi. Ia rela menempuh perjalanan jauh ke kampung-kampung hanya untuk memastikan muridnya tidak berhenti sekolah.
Di sela kesibukan, ia membantu masyarakat memperbaiki ruang belajar, mencari donasi buku, hingga membimbing anak-anak belajar di bawah cahaya lampu minyak.
“Kalau bukan kita yang membangun anak-anak Papua, siapa lagi?” ucapnya setiap kali rasa lelah datang.

Potret kebersamaan Diana Cristiana Dacosta Ati bersama anak didiknya di Papua
Sumber gambar: kalderanews.com
Dalam setiap pelajaran, Diana selalu menyisipkan nilai-nilai kehidupan — mencintai alam, menghargai budaya lokal, dan berani bermimpi. Ia ingin murid-muridnya tumbuh menjadi generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berhati besar.
Penganugerahan dari Astra menjadi momentum penting baginya. Bukan semata penghargaan, tetapi pengakuan bahwa perjuangan di pelosok pun layak mendapat tempat di panggung nasional. Astra hadir memperkuat langkahnya melalui pembinaan berkelanjutan, membuka jaringan, dan menginspirasi generasi muda lain untuk bergerak dengan hati.
“Bagi saya, penghargaan ini bukan akhir, tapi awal dari tanggung jawab yang lebih besar,” ujarnya mantap.
Dari Pelosok ke Panggung Inspirasi
Setiap pagi, Diana menyambut murid-muridnya yang datang ke sekolah dengan kaki berlumpur, namun wajah mereka berseri penuh semangat. Di tengah jalan setapak yang sunyi, tawa anak-anak itu menjadi musik pengiring perjuangan. Di mata mereka, Diana melihat masa depan — masa depan yang dulu nyaris padam, kini perlahan bersinar kembali.
Kini, senyum ceria itu bukan hanya milik anak-anak, tapi juga terpancar dari wajah Diana. Ia telah membuktikan bahwa perubahan besar bisa lahir dari niat tulus untuk mencerdaskan anak bangsa. Dengan langkah kecil yang konsisten, ia membawa dampak nyata bagi hari ini dan masa depan Indonesia. Semangat itu sejalan dengan visi Astra, “Satukan Gerak, Terus Berdampak.”

Potret anak-anak Papua yang sudah pandai menulis dan berhitung
(Sumber gambar: Adventurose.com)
Perjalanan Diana mengajarkan satu hal penting: bahwa perubahan tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari ketulusan yang tak pernah menyerah. Di balik setiap peluh dan tantangan, selalu ada harapan yang tumbuh — sederhana, tapi kuat.
Ia adalah lentera yang tak pernah padam di tengah keterbatasan; bukti nyata bahwa setiap anak Indonesia, di mana pun mereka lahir, berhak bermimpi dan mengubah nasibnya. Dari Kampung Atti yang jauh di pelosok Papua Selatan, cahaya kecil itu kini menembus batas, menerangi Indonesia dengan inspirasi tanpa henti.